Posted by : Unknown
Minggu, 20 Oktober 2013
Matanya terfokus kepada sesosok wanita yang sedang mengahdap ke sisi lain
di ruangan itu. Seakan tak percaya, tiba-tiba dia datang dan berada di hadapanku.
“Hei apa kabar? Kenapa kamu menangis cha?”
Nalurinya sebagai pria menuntun Alvin untuk menghampiri dan mencoba
menenangkan wanita berpostur tubuh mungil itu. Tanpa pikir panjang, dia mengusap
air mata Icha dengan sehelai tisu yang baru saja diambilnya. Detik berikutnya,
Alvin mencoba memeluknya, membelai lembut rambutnya serta menjadikan pundaknya
sebagai sandaran yang mungkin dapat melegakannya.
“Jangan nangis donk,
Aku tahu kamu bukan cewek yang cengeng. Aku kenal kamu udah lama. Kamu wanita
paling tegar yang pernah aku kenal cha. Kamu masih seperti yang dulu kan? Gak
akan berubah menjadi power ranger seperti di film?”
Kata-kata itu sengaja Alvin keluarkan untuk membuat suasana kembali cair,
tak seperti sebelumnya yang kaku dan keras bagai batu karang. Senyumnya
terlukis perlahan dari wajahnya yang baru saja ternodai oleh air matanya
sendiri. Dengan gerakan kecil icha memukuli pria yang ada di hadapannya tanda
perasaan malu karena ucapan mantan kekasihnya itu.
“Yee senyum lagi, yaudah duduk dulu sana. Aku ambil
minuman dulu”
Tak henti-hentinya kedua mata Icha melihat-lihat keadaan di dalam kamar
tersebut. Mungkin untuk saat ini, ruangan tersebut terasa asing baginya.
Bagaimana tidak, sudah beberapa tahun dia tak lagi datang dan menemui orang
yang pernah mengisi relung hatinya.
“belum banyak yang berubah ya kamarmu ini vin. Masih
saja berantakan kayak gini?”
Sambil tersenyum hatinya mencoba berbicara tentang keadaan yang sedang ia
alami untuk saat ini. Mencoba bernostalgia, mengingat kembali bagaimana dulu
mereka melewati setiap perjalanan mentari dari fajar hingga senja bersama-sama.
Pandangannya tertuju pada kotak kecil yang berada di sudut ruangan kamar
itu. Karena merasa penasaran, icha beranjak berdiri dan mencoba meraih kotak
kecil tersebut.
“Aneh, apaan ya isinya?”
sambil menggenggam kotak kecil itu, icha masih menyempatkan untuk
berbicara kepada dirinya sendiri tentang isi dari kotak tersebut. Dengan
diliputi rasa keraguan, dia bingung apakah memang harus membukanya agar rasa
penasaran tak lagi datang untuk mengusiknya.
Bersamaan dengan tangannya yang membuka tutup kotak kecil tersebut, Alvin
datang dari sisi pintu masuk kamarnya dan membawa segelas minuman untuknya.
“Cha, ngapain kamu buka kotak itu?”
Spontan icha kaget mendengar suara tersebut dan merasa tidak enak karena
telah lancang membuka barang yang ada di kamar itu.
“Ma ma maaf vin, aku gak bermaksud lancang”
Dengan nada terpatah-patah ia mencoba menjelaskan yang dilakukannya
kepada pria yang kini berada di hadapannya.
“Entah kenapa tadi
tiba-tiba aku melihat kotak itu dan timbul rasa penasaran untuk membukanya vin.
Maafin Aku yah udah lancang membuka kotak tersebut tanpa sepengetahuanmu”
“Gak papa kok cha,
itu juga milikmu kok. Cuma belum sempat juga aku ngasih ke kamu”
“Maksudmu gimana to
vin? Aku gak ngerti”
Dengan tersenyum Alvin memberikan segelas minuman yang baru saja ia ambil
dan mencoba menjelaskan maksud dari pernyataan yang dilontarkannya.
“Nih minum dulu, biar tenangan dikit kamunya. Tadi kan
habis nangis hehehe.”
Setelah suasana sudah mulai nyaman dan tenang, Alvin mencoba mengalihkan
pembicaraan ke arah lain. Sambil menyandarkan punggungnya ke tembok kamar yang
berada di sisi seberang Icha, ia mencoba bertanya tentang apa yang sedang
terjadi pada mantan kekasihnya tersebut.
“ehh
ngomong-ngomong, kamu kesini sama siapa? Kenapa gak hubunginn aku dulu sih, kan
bisa aku jemput di terminal.”
“Aku sendirian vin,
gpp sih. Cuma lagi butuh suasana baru. Aku bosan dengan keadaan disana
mangkanya kesini, emang kamu siapaku? Gak mau lah aku ngerepotin kamu dengan
minta jemput. Aku bisa datang sendiri kok”
“Ohh gitu yak? Trus
kenapa kamu nangis tadi? Jelek tauk hahaha. Gak nangis aja udah jelek apalagi
sambil nangis kayak tadi”
“Ehh jelek-jelek
gini juga dulu ada yang tergila-gila sama aku lho”
Icha mencoba membalik perkataan yang Alvin lontarkan sendiri sekaligus
mencoba membalas ledekan terhadap dirinya. Pandangan mereka beradu menghentikan
detak jantung detik demi detik. Keduanya masih saling membisu tak tau harus
berbuat apa dan bicara tentang apa, mulut mereka saling terkunci namun berbeda
dengan tatapan keempat bola mata yang ada di ruangan itu. Tatapan binar
bercampur sedikit linangan air mata jelas masih terpancar dari jendela hati
wanita tersebut.
“Cha, kamu gak apa-apa kan?”
Sentuhan jemari Alvin saat mengusap air matanya secara otomatis
menyadarkan lamunan Icha saat itu.
“Hah? Kenapa vin?”
“Tuh kan ngelamun ni
anak. Aku bilang Kamu gak apa-apa kan? Atau kamu baru dapat musibah atau
gimana. ?”
“ohh gak apa-apa
kok”
Sambil melengkungkan bibir, icha mencoba tersenyum menutupi apa yang
sedang ia alami. Tak lupa juga ia meminum secangkir teh hangat agar dirinya
merasa lebih rileks.
“Beneran gak apa-apa? Aku kenal kamu udah lama loh,
gak usah bohong deh pesek”
Alvin masih mencoba membujuk wanita yang kini ada di sampingnya, sambil
mendaratkan cubitan di hidung mantan kekasihnya tersebut. Rupanya masih sama
seperti dulu, Icha kerap merasa kesal saat mantan kekasihnya mencubit hidungnya
dan selalu melontarkan kata “pesek”.
“Ihh kamu tuh yang
pesek, gak punya hidung. Iya aku gak apa-apa kok. Nanti juga kalo mau cerita ya
aku cerita ke kamu. Udah lah lupakan masalah yang tadi”.
Sambil menyandarkan kepalanya di pundak pria yang ada di sampingnya, Icha
masih penasaran akan penjelasan dari Alvin mengenai isi dari kotak kecil yang
kini sedang ia genggam.
“Vin, tadi apa
maksudmu ini punyaku? Kamu bercanda kan? Ini cincin bagus banget lho pasti buat
pacarmu yah?”
Icha mencoba tersenyum sembari memperlihatkan sebuah cincin yang ada di
kotak kecil tersebut. Tatapan mereka kembali terpaut. Bertemu satu sama lain
dalam jarak yang sangat dekat.
“Bukan lah cha, ini
cincin sebenarnya bukan milik siapa-siapa. Bukan punyaku, bukan milikmu, juga
tidak untuk pacarku. Kamu kan tahu sendiri aku saat ini masih sendiri”.
“Lalu, ini punya
sapa? Kamu nyolong yah vin? Hayoo ngaku?”
Alvin meraih cincin tersebut dari jemari wanita yang sedang bersandar di
bahunya. Sambil memegang cincin tersebut, matanya terfokus untuk menatap cincin
tersebut dan membuat setitik air mata meleleh dari mata itu.
“Sebenarnya cincin
ini punya ‘kenagan kita’”.
“Maksudnya?”
“Cincin ini sengaja
aku beli buat kamu, wanita yang spesial buat aku dulu sebelum kita pisah. Ingat
gak dulu kamu ingin ‘kita’
menggunakan cincin bersama-sama. Ingat gak?”
“Ia sih inget, tapi
kenapa aku gak pernah tahu akan cincin tersebut vin?”
“Aku sengaja tak
memberitahumu terlebih dahulu cha, karena aku ingin menjadikan semua ini
spesial di mata kamu. Namun apa yang terjadi tak seperti yang kuharapkan,
hubungan kita sudah kandas terlebih dahulu. Kita tak lagi punya waktu untuk
bertemu kan? Bahkan kau ucapkan kata perpisahan itu hanya lewat suara yang kau
kirimkan dari sebuah alat. Aku tak mendengarnya langsung dari mulutmu,
dihadapanku.”
Keadaan di ruangan tersebut membeku seketika. Sunyi dan sepi tak seperti
beberapa detik sebelumnya, tak terdengar percakapan dari kedua orang tersebut.
Tak terdengar candaan, serta suara tertawa yang renyah seperti yang terdengar
sebelumnya.
“Ini bukan cincinku.
Bukan juga milikmu. Bukan milik siapa-siapa, hanya milik ‘kenangan’ yang sudah tak ada artinya cha. Cincin ini hanyalah masa
lalu, tak akan pernah nyata dan hanya ada di dunia kita dulu. Bukan hari ini,
dan tidak untuk saat ini cha.”
Secara otomatis icha merasa bersalah dan tidak enak terhadap Alvin,
mungkin dia tak bermaksud untuk kembali mengungkap apa yang telah berlalu. Saat
ini, dia hanya bisa menenangkan pria yang ada di sisinya dengan belaian lembut
yang Icha lakukan di kepala Alvin.
“Udahlah vin, jangan
ikutan sedih gitu. Malah gantian kamu yang sedih kan, padahal tadi kamu yang
hibur aku”
Pelukan hangat yang mereka rasakan saat itu seakan kembali menyeret dua
insan tersebut ke arus dunia kedua mereka. Dunia semu, yang mungkin tetap bisa
mereka rasakan dikala saat-saat tertentu. Dentingan piano seakan mengalun melengkapi
suasana sendu sore itu.
Waktu terus berjalan namun jarum jam seakan berjalan melawan arah, kembali mundur melewati setiap detik yang terjadi. Dekapan erat yang mereka rasakan saat ini telah melumpuhkan semua ingatan yang terjadi untuk saat ini, seakan lupa bahwa saat ini semuanya telah berbeda. Tak ada lagi “KITA”. Hanya “AKU & KAMU”.
Waktu terus berjalan namun jarum jam seakan berjalan melawan arah, kembali mundur melewati setiap detik yang terjadi. Dekapan erat yang mereka rasakan saat ini telah melumpuhkan semua ingatan yang terjadi untuk saat ini, seakan lupa bahwa saat ini semuanya telah berbeda. Tak ada lagi “KITA”. Hanya “AKU & KAMU”.
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, namun secara tak sadar bibir
mereka telah menyatu. Desiran nafas dan detak jantung kedua insan tersebut
berpacu. Kecupan mesra kembali mereka rasakan. Pelukan hangat serta kecupan
lembut di bibir Icha membuat wanita tersebut lupa akan kejadian yang mestinya
tak terjadi untuk saat itu. Mata mereka masih terpejam, menikmati belaian kisah
di masa lalu.
“Kringgggg.... Krriggg... Kringg...”
Suara alarm yang berbunyi seakan menjadi tamparan yang sangat menyakitkan
yang Alvin rasakan untuk pagi itu. Bagaimana tidak, ternyata semua kejadian di
atas hanya “bunga tidur” semata.
Seakan tak percaya dengan apa yang dialaminya, ia masih berusaha menyadarkan
dirinya sendiri dengan menampar-nampar pipinya.
“Ya Ampunnn, ternyata mimpi yah hahahah”
Sebagian orang terkadang memilih
untuk “tinggal” dan menetap bukan “beranjak” dan meninggalkan. Memilih untuk
terperangkap dan lebih menikmati dunianya yang ia inginkan dari pada terbebas
dan mencoba melawan apa yang sedang menimpanya.
Lebih memilih menikmati dunia mimpinya dari pada harus menanggung kenyataan yang dialaminya. Karena di dunia mimpimu, engkau bebas mengatur apa yang kau inginkan, engkau bebas menjadi sutradara, menciptakan panggung sandiwara bagi duniamu sendiri.
Sangat berbeda dengan dunia kenyataan. Ketika apa yang terjadi berjalan tidak seperti yang kau harapkan, Ketika yang kau harapkan tak berjalan sebagaimana mestinya, percayalah bahwa, “untuk saat tersebut Tuhanlah yang bertindak sebagai Sutradara”.
Apalagi yang kau ragukan dari sosok “Penciptamu” sendiri?
Apalagi yang kau ragukan dari Tuhan yang Maha Agung?
Untuk kamu yang lebih menikmati hidup di dunia mimpimu,
Untuk kamu yang lebih memilih tinggal dengan masa lalumu,
Bangkit dan Bangunlah!!!
Dunia kenyataan memang memiliki sisi yang sangat pahit dan pedih, pasti terselib keindahan yang abadi percayalah itu lebih baik dari pada “engkau” lebih memilih menikmati manis dan senangnya dunia mimpimu sendiri.
Yakinkan saja hatimu jika Tuhan selalu punya “rencana” yang tentu lebih baik dari “rencanamu” sendiri karena Ia Maha Tahu apa yang hambanya butuhkan, Ia Maha Mengabulkan apa yang hambanya mohonkan.
Lebih memilih menikmati dunia mimpinya dari pada harus menanggung kenyataan yang dialaminya. Karena di dunia mimpimu, engkau bebas mengatur apa yang kau inginkan, engkau bebas menjadi sutradara, menciptakan panggung sandiwara bagi duniamu sendiri.
Sangat berbeda dengan dunia kenyataan. Ketika apa yang terjadi berjalan tidak seperti yang kau harapkan, Ketika yang kau harapkan tak berjalan sebagaimana mestinya, percayalah bahwa, “untuk saat tersebut Tuhanlah yang bertindak sebagai Sutradara”.
Apalagi yang kau ragukan dari sosok “Penciptamu” sendiri?
Apalagi yang kau ragukan dari Tuhan yang Maha Agung?
Untuk kamu yang lebih menikmati hidup di dunia mimpimu,
Untuk kamu yang lebih memilih tinggal dengan masa lalumu,
Bangkit dan Bangunlah!!!
Dunia kenyataan memang memiliki sisi yang sangat pahit dan pedih, pasti terselib keindahan yang abadi percayalah itu lebih baik dari pada “engkau” lebih memilih menikmati manis dan senangnya dunia mimpimu sendiri.
Yakinkan saja hatimu jika Tuhan selalu punya “rencana” yang tentu lebih baik dari “rencanamu” sendiri karena Ia Maha Tahu apa yang hambanya butuhkan, Ia Maha Mengabulkan apa yang hambanya mohonkan.
Related Posts
- Back to Home »
- Coretan Iseng »
- Disaat Engkau Lebih Menikmati Alam Mimpimu dari pada Menerima Kenyataan yang Terjadi
